Nuning, peternak sapi di Ngemplak, Sleman. |
“Sapi sudah kayak anak sendiri. Kalau sapinya nggak mau makan saya juga bingung,” katanya sambil menyeka cairan kental atau leleran yang keluar dari mulut hewan ternaknya dengan kain lap.
Dia meminjam kandang itu dari peternak lain. Dua sapinya masing-masing berjenis simental berusia 1 tahun dan limosin berusia 2 tahun. Dulu dia membeli anakan sapi limosin seharga Rp 14,5 juta rupiah. Sementara sapi simental diperoleh dari induk milik sendiri. Nuning hanya mengenal jenis kedua sapinya itu dengan sebutan metal dan mosin.
Sekitar awal minggu kedua Juni lalu, dua sapinya enggan makan. Dari mulutnya keluar air liur kental. Badan sapi terasa hangat. Diapun melapor ke Puskeswan Ngemplak, di Dusun Kragilan, Desa Bimomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman.
Usai pemeriksaan, kedua sapinya divonis terkena PMK atau Penyakit Mulut dan Kuku. Kala itu petugas baru memberikan suntikan vitamin untuk meningkatkan daya tahan ternak. Nuning menempuh berbagai cara agar sapi-sapinya kembali sehat. Sebagai petani, sapi menjadi tabungan sekaligus investasi. Ternak yang sakit akan menambah biaya perawatan, dan kematian ternak berarti kehilangan modal dan keuntungan.
“Ini saya beri empon-empon. Saya belikan gula aren, kunir, jahe. Saya juga beli lemon. Suami saya nanti memasukkannya lewat bambu,” ungkapnya.
Agar doyan makan dan minum, Nuning juga mengakalinya dengan cara mencampur minuman ternaknya dengan kecap. Selama ternaknya sakit, dia pun terpaksa lebih sering menengok sapi-sapinya di kandang kelompok.
Slamet, peternak lainnya di kelompok peternak Dwi Mulyo Lestari melakukan hal yang sama. Tiga sapi miliknya menunjukkan gejala terkena PMK. Hatinya pun gundah.
“Kalau sapinya nggak mau makan, peternak juga nggak mau makan,” ujarnya. “Sapi milik adik saya juga sakit. Kalau sehat minimal bisa laku Rp 25 juta. Tapi kemarin cuma dibeli Rp 8 juta. Itu untuk beli komboran saja tidak cukup, apalagi jika menghitung tenaga pemeliharaan.”
Komboran adalah makanan sapi basah yang terdiri dari berbagai bahan antara lain bekatul, ampas tahu, daun, dan molase. Selama sakit, rumput kolonjono yang biasa menjadi makanan sehari-hari nyaris tidak disentuh sapi. Agar tetap mau makan, dia lalu memberikan pisang untuk makan ternaknya. Itupun harus disuapkan ke dalam mulut sapi-sapinya. Slamet juga memberi sapi-sapinya jamu kunir asam, jahe, kencur, dan telur agar daya tahan sapinya meningkat.
Agus Triyono, ketua kelompok peternak Dwi Mulyo Lestari menjelaskan, di kandang kelompoknya terdapat 57 sapi milik 36 anggota. Semua ternak dinyatakan terserang wabah PMK.
“Awalnya ada tiga sapi yang sakit sejak 22 Mei lalu. Tapi semua sapi kemudian tertular. Gejalanya sama, sapi tidak mau makan, gelisah, mulutnya keluar air liur,” ungkapnya.
Kandang kelompok Dwi Mulyo Lestari terletak di Dusun Karang Rogobangsan, Desa Bimomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman. Hanya ada tembok setinggi 1 meter yang memisahkan kandang kelompok dengan jalan desa. Ada pintu masuk yang dibiarkan tanpa pagar sehingga siapapun bisa masuk ke area kandang yang mungkin saja menjadi vektor penyakit bagi ternak.
Anjuran untuk membatasi lalu lintas orang dan barang ke area kandang belum bisa diterapkan. Hal ini mengingat peternak belum terbiasa. Apalagi ternak kadang dijenguk oleh anggota keluarga lain.
Untuk meningkatkan imunitas, anggotanya banyak yang mengandalkan jamu buatan sendiri. Namun laporan yang ke Puskeswan dan tindakan medis dari dokter hewan telah membantu mempercepat kesembuhan ternak.
“Ada yang sudah dua kali mendapat suntikan, ada yang tiga kali. Sekarang sebagian sudah mau makan.”
Situasi berbeda terjadi di kandang kelompok Taruna Mandiri, Dusun Ngaliyan, Desa Wedomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman. Minto Hartono, ketua kelompok ini mengatakan pihaknya sangat ketat menerapkan protokol kesehatan ternak terkait wabah PMK.
“Kalau orang luar, apalagi blantik, atau pedagang, saya batasi ketat. Soalnya kalau diberi kelonggaran sedikit, satu sapi sakit nanti kena semua,” ujarnya yang hanya bersedia ditemui di pintu kandang ternak untuk mencegah penluaran PMK.
Aturan itu diterapkan karena mempertimbangkan nilai nominal sapi milik anggota yang telah mencapai lebih dari Rp1 M. Apalagi di kelompoknya, ternak sapi menjadi penghasilan utama. Harga jual sapi kelompoknya rata-rata Rp25 juta. Namun ada sapi istimewa yang harga jualnya mencapai Rp35 juta. Minto mengaku sudah menjadi langganan kraton Yogyakarta saat mencari sapi terbaik untuk kurban.
Selama wabah PMK pun kelompok tidak berani memasukkan sapi baru dari luar untuk mencegah penularan. Ada pagar rapat dan tembok setinggi 3 meter mengelilingi kandang komunal milik kelompok. Di depan pagar terdapat tulisan peringatan larangan masuk bagi selain anggota kelompok. Sebelumnya ada tulisan besar “Lockdown” terpampang di luar pagar, namun kemudian dicopot. Saat ini kelompok yang dipimpinnya memiliki anggota 34 orang, dengan jumlah ternak lebih dari 65 ekor sapi.
“Selama ada PMK pemberian makanan untuk sapi ditambah vitamin, mineral. Biasanya kombor pagi dan sore. Vitamin dibuat sendiri dari empon-empon. Ada kunir, laos, jahe. Kami juga memilih berjualan secara online. Lebih efektif, dan tidak banyak lalu lalang pedagang yang masuk kandang.”
Supaya ternaknya tidak sakit, Minto tak lupa memperhatikan kebersihan kandang. Kelompoknya rutin menyemprot kandang dengan ekoenzim buatan sendiri, juga disinfektan dan antiseptik yang dibeli dari luar. Hasilnya, selama wabah PMK, tidak ada satupun sapi milik kelompok yang terpapar.
Kedua kandang komunal ini pada 22 Juni lalu mendapat kunjungan Satgas PMK Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM. Berkoordinasi dengan Puskeswan Ngemplak, mereka melakukan sosialisasi pencegahan PMK dan pengobatan sapi-sapi yang terjangkit. (Bersambung)
No comments:
Post a Comment