Iskandar Waworuntu: Melawan dari Kebun (1)


Iskandar Waworuntu

Iskandar Mathindas Waworuntu, 66 tahun, kerap terlihat menemui para tamunya dengan memakai kopiah, kaos sederhana, dan sarung. Tidak peduli jabatan yang disandang, dari mana pun mereka berasal. Begitupun saat Barack Obama mampir ke warungnya, 2017 lalu. 

Pria ini akan menjamu para tamunya sama baiknya. Iskandar pemilik hati yang hangat. 

“Setiap orang yang datang saya ladeni. Saya ajak makan. Lama-lama teman-teman itu merasa tidak enak. Tapi tradisi memberi makan itu tetap saya pelihara. Di rumah saya tamu ya harus dikasih makan,” ujar pria bermata biru ini. 

Ibunya, Judith Tumbelaka berdarah Inggris. Sementara ayahnya, Wija Waworuntu blasteran Belanda Manado.

Baru-baru ini dia menjadi salah satu dari tujuh tokoh terpilih yang muncul dalam film yang diproduseri Nicholas Saputra, Semesta. Bersama-sama dengan Tjokorda (Bali), Agustinus Pius Inam (Kalimantan Barat), Marselus Hasan (NTT), Almina Kacili (Papua Barat), Soraya Cassandra (Jakarta), Muhammad Yusuf (Aceh), mereka dengan caranya masing-masing melakukan aksi nyata memelihara bumi.

Iskandar mendirikan Bumi Langit, sebuah ruang tempat belajar, sekaligus menyaksikan hubungan saling menghidupi antara manusia dan alam. Belakangan muncul Bumi Langit Institute, yang menyelenggarakan pelatihan permakultur. Warung Bumi, tempat Obama makan siang menjadi wajah depan dari seluruh kegiatan di Bumi Langit. Di sana disajikan cita rasa makanan yang berasal dari kebun Bumi Langit, dan sumber lain yang terpilih.

Bagaimana Iskandar Waworuntu mengembangkan permakultur di kebunnya, hidup selaras alam, dan memuliakan makanan? Berikut petikan wawancara penulis dengannya di Warung Bumi yang berlangsung sekitar satu jam, pada Februari 2020 lalu.

* * * * *

Bagaimana ceritanya hingga Anda terlibat di film Semesta?

Sebelumnya Nicholas Saputra sendiri saya tidak tahu. Waktu itu dia datang ke sini dengan teman main filmnya. Rupanya dia menyimpan kecocokan dengan tempat ini. Dia punya kerinduan yang sama dengan saya terkait masalah alam, tradisional living. Kami jadi akrab.

Tiba-tiba dia mengatakan akan membuat sebuah project. Diceritain ke saya, Bumi Langit bakal menjadi salah satu tempat. Point saya, saya sudah kenal dia, nyaman karena dia juga memperjuangkan nilai-nilai yang sama, ya monggo. Selama bermanfaat kenapa tidak.

Sebagai salah satu profil yang ditampilkan, pendapat Anda?

Alhamdulillah, dari ketujuh profil tersebut, ada dua yang mewakili kalau saya bisa mengatakan, Islam sebagai benchmark, sebagai landasan dalam menyikapi masalah krisis lingkungan ini. Saya juga comfortable karena yang satu ini datang dari Aceh, dari lingkungan Islam yang cukup tradisional. Kalau cuma saya, mewakili sebuah negara yang penuh dengan keberagaman Islam, saya merasa kikuk. Wong saya jadi muslim juga kemarin sore.

Biodigester di Bumi Langit Institute.

Anda akhirnya main film, setelah vakum di dunia panggung…

Kalau main film sendiri bukan tujuan saya, saya sendiri kan orang teater. Saya dulu di Bengkel teater. Saya anak buahnya Rendra. Kalau penguasaan dalam seni peran saya sudah comfortable, tapi saya sendiri tidak mau masuk ke dunia perfilman. Kali ini saya merasa nyaman karena saya memerankan diri saya sendiri. Saya tidak memerankan orang.

Dulu saya menganggap Bengkel Teater membantu saya membuka wawasan, dalam memaknai atau mencari makna kehidupan. Setelah itu ya sudah, dunia itu saya tinggalkan.

Apa yang membuat Anda memulai Bumi Langit?

Perjalanan ke sini itu kan perjalanan pribadi. Saya memilih Jogja, hijrah dari Bali karena ingin memaknai Islam lebih dalam. Saya pindah ke Jogja tahun 2000. Tahun 70-an saya di Jogja sama Bengkel Teater. Hampir 10 tahunlah di Jogja, dari zamannya kaum urakan tahun 1973 sampai 1982. Cuma agenda saya kali ini berbeda. Saya punya pencarian lebih terkait alam, traditional wisdom.

Saat datang pertama kali ke sini situasinya seperti apa?

Tempat ini kering sekali, tidak ada air. Kebunnya lebih banyak batu dari pada tanah. Ya perjalanannya cukup berat. Cuma saya memilih tempat ini karena saya mencintai.

Yang mestinya dikasih kredit istri saya, karena biasanya kalau perempuan sudah nyaman di sebuah tempat kan mikir dua kali untuk pindah. Alhamdulillah dia mau meninggalkan Bali padahal kita sudah mapan di Bali. Kami mengawali lagi dari nol, untuk betul-betul selama 10 tahun saya hanya menekuni tanah yang gersang, lingkungan yang sulit, merintis lagi hubungan baik dengan warga sekitar.

Hidup selaras dengan alam apakah itu juga yang ingin ditularkan ke warga?

Kalau itu kan sebagai konsekuensi kita menyelami Islam. Semakin menyelami Islam semakin sadar bahwa esensi dari perwujudan Islam di kehidupan itu harus diwujudkan lewat alam. Dalam konteks ini, kita mendapatkan ridlo Allah melewati ridlonya makhluk. Jadi kalau makhluk belum ridlo jangan berharap akan mendapatkan ridlo-Nya.

Dalam 100 tahun terakhir ini umat Islam cenderung meninggalkan konsekuensi tersebut. Jadi bagaimana sih bertani yang Islami, beternak yang Islami, membuat roti yang Islami, membuat bakso yang Islami, menanak nasi yang Islami.

Misalnya bercocok tanam yang Islami, itu bagaimana?

Ya sekarang kalau kita pakai pupuk kimia apakah itu Islami? Apakah kalau kita pakai racun kimia itu Islami? Kalau kita pakai fungisida pembunuh jamur itu Islami? Kalau kita pakai herbisida pembunuh rumput apakah itu Islami? Itu jelas-jelas sebuah kedzoliman karena itu merusak. Bukan hanya untuk lingkungan tapi tubuh kita juga.

Salah satu yang paling utama yang saya dapatkan dari perjalanan keislaman saya itu terkait makna thoyib. Thoyib itu sebagai bagian dari halal yang sebenarnya tidak terpisah. Thoyib itukan merupakan pedoman memastikan yang terinternalisasi dalam hidup ini, baik produk makanan atau non makan berawal dari proses yang baik.

Sekarang semua peran dalam menentukan nilai diambil oleh mekanisme modern yang dikuasi industri. Mekanisme itu amat bertentangan dengan yang kita warisi di awal. Karena semua mekanisme industri berpedoman pada financial game, keuntungan keuangan. Bukan kepada martabat kehidupan, atau nilai-nilai luhur dalam hidup.


Kalau Bumi Langit Institute itu sendiri apa yang ingin dilakukan? Apakah dulu sudah ada rencana untuk bangun ini?

Kalau Bumi Langit Institute itu sendiri kan hadir belakangan, jadi karena saya semakin hari di sini semakin banyak didatangi teman, orang-orang yang tertarik belajar lifestyle di sini.

Saya dulu datang hanya agar bisa lebih memaknai Islam, dan mempunyai sumbangsih untuk Islam. Tadinya saya pikir mau gabung sama pondok pesantren, tapi kok semakin saya dekat semakin kecewa juga. Karena pondok pesantren punya keberagaman yang luar biasa dan semakin jadi fenomena urban. Tidak sesuai harapan atau bayangan saya lagi yang lebih dekat dengan keseharian bertani, berternak.

Dengan menerapkan hidup selaras alam, banyak yang datang?

Banyak yang tertarik, kemudian yang paling pokok kan urusan makanan. Karena bagi saya makanan itu yang terpenting. Kalau ada alat yang dipakai iblis untuk menghancurkan manusia tidak ada yang lebih efektif dari pada makanan. Kalau makanan itu terinternalisasi, akan menjadi perilaku kita, menjadi emosi kita, menjadi tatanan sosial kita, tanpa kita sadari. Dan itu secara saintifik sudah terbukti (bersambung).


No comments:

Post a Comment