Relief Lalitavistara Borobudur Ungkap Penyebaran Vegetasi di Masa Lampau (3)

Relief flora di Candi Borobudur

Pertanyaan besarnya, apakah tanaman yang digambarkan di Borobudur benar-benar ada di Jawa dan bukan di India? Bagaimana pula membuktikan bahwa tanaman itu benar-benar eksis? Hari sangat meyakini bahwa gambaran tanaman yang dipahatkan memang tumbuh di sekitar candi atau di Jawa. Dia tidak setuju dengan pendapat yang menyatakan itu hanya rekaan. 

“Saya tidak setuju kalau ada ahli yang menyatakan seperti itu. Karena apa? Karena di India sendiri mereka tidak memahatkan relief tanaman secara detil seperti di Candi Borobudur.”

Hari mencontohkan, misalnya di Candi Ellora atau di Gua Ajanta, India. Pahatan tanaman di kedua tempat itu tidak digambarkan secara detil. Bahkan di Candi Angkor Wat, Kamboja pun tidak ditemukan pahatan flora sedetil Borobudur. 

“Kalau mau gambarkan tanaman ya cuma batang sama daun, di mana-mana sama bentuknya. Enggak seperti Borobudur. Pohon nangka, pohon duren, bisa dibedakan dari morfologi, anatomi dari tanaman itu sendiri walaupun hanya dipahatkan dalam relief. Nah keistimewaan Borobudur seperti itu.” 

Cara yang dilakukan untuk mengkonfirmasi keberadaan tanaman yang ada pada masa Jawa Kuno yaitu menggunakan informasi yang diberikan oleh prasasti pada masa yang sama. Arkeolog yang juga pernah meneliti flora pada relief Candi Prambanan ini menggunakan setidaknya 81 prasasti Jawa Kuno yang menyampaikan informasi bahwa tanaman-tanaman itu memang eksis pada masa itu dan dimanfaatkan oleh masyarakat Jawa Kuno.

“Kalau kita bicara masalah flora ya kita enggak mungkin pakai satu prasasti saja. Carilah prasasti yang berada pada masa yang sama kemudian dicari apa saja kata yang disampaikan dalam prasasti itu yang menunjukkan adanya eksistensi spesies tanaman tadi.”

Hari mencontohkan tanaman mangga, walau dalam prasasti Jawa Kuno tidak selalu ditulis sebagai mangga. Dalam prasasti Jawa Kuno buah ini dinyatakan sebagai limus atau poh. Pohon mangga juga ditemukan dalam relief Borobudur.   

Dari relief Borobudur pun diperoleh informasi makanan pokok masyarakat Jawa Kuno. Meski soal ini menjadi perdebatan, namun Hari meyakini makanan pokok pada masa itu adalah padi.

“Saya tidak setuju kalau makanan pokok masyarakat Jawa Kuno itu adalah sagu. Ada juga periset yang menyatakan kita makan juwawut. Saya lebih setuju kalau makanan pokok pada masa Jawa Kuno ya memang padi.”

Hari beralasan, pertama, padi banyak digambarkan pada relief di Candi Borobudur, juga candi-candi yang lain. Tidak hanya di Jawa Tengah, namun juga di Jawa Timur. Kedua, kata padi disebut pada prasasti kuno yaitu prasasti Canggal. Prasasti yang kini berada di museum nasional itu merupakan tonggak berdirinya Kerajaan Mataram Kuno, di Jawa Tengah. Darinya kemudian menurunkan dinasti yang membangun Borobudur, Sewu, Prambanan, dan beberapa candi lain. 

“Disebut di situ ada sebuah pulau yang namanya Pulau Jawa yang kaya akan biji-bijian dan padi. Sudah disebut padi secara eksplisit. Padi dan biji-bijian. Baik itu biji-bijian tanaman atau bahan logam, biji logam. Nah prasastinya berangka tahun 732 Masehi.”

Sementara prasasti Rukam berangka tahun 907 M menceritakan sebuah dusun bernama Rukam yang hilang karena letusan gunung berapi. Situs Liyangan yang terkubur material vulkanik berada di kabupaten Temanggung dan menjadi bagian dari sejarah Mataram Kuno. 

“Liyangan itu juga dalam dimensi waktu yang sama dengan Borobudur Prambanan, era Mataram Kuno. Di situ malah ada, benar-benar padinya yang sudah jadi arang.” 

(Bersambung)

No comments:

Post a Comment