Sampah Jadi Bahan Bakar, Solusi Kota Cilacap Tanpa TPA (2)

Menurut kajian yang dilakukan Sustainable Waste Indonesia dan Unilever pada 2020, sampah plastik yang dihasilkan sampah perkotaan atau Municipal Solid Waste di Pulau Jawa mencapai angka 189 ribu ton. Dari jumlah itu baru 11,83 persen yang didaur ulang, sementara 88,17 persen lainnya diangkut ke TPA dan berserakan mengotori lingkungan.

Secara nasional, kapasitas daur ulang hanya sekitar 1,6 juta ton per tahun. Sementara yang bisa dimanfaatkan baru 0,09 juta per tahun.

Fasilitas RDF yang dibangun di Cilacap menjadi yang pertama di Indonesia. Dengan kapasitas pengolahan 120 ton sampah per hari, fasilitas ini bisa menghasilkan 60 ton RDF untuk mengganti 45 ton batubara per hari yang digunakan pabrik semen dalam hal ini PT Semen Indonesia unit Cilacap. 

Bioteknologi

Solusi Bangun Persada adalah anak perusahaan PT Semen Indonesia yang menjadi operator fasilitas RDF. Bahan baku utamanya adalah sampah domestik perkotaan yang diolah melalui bio drying. Hasilnya berupa material mudah terbakar sumber energi terbarukan yang mempunyai kalor cukup tinggi, untuk substitusi  batubara.       

Proses pengolahan sampah menjadi bahan bakar alternatif di plant Cilacap diawali dari pengangkutan sampah-sampah itu dari TPS ke TPA. Selanjutnya sampah dipilah lalu diangkut ke mesin pencacah, dengan kapasitas maksimum 40 to per jam. Sampah yang sudah dicacah kemudian dimasukkan ke drying bay atau tempat pengeringan berkapasitas maksimum 500 ton.

Salah satu bagian fasilitas RDF Cilacap
dok DLH Cilacap
Sampah-sampah itu kemudian ditutup dengan biomembran selama 7 hari untuk proses pengeringan. Selanjutnya dibawa ke mesin pengayakan dengan kapasitas 20 ton per jam. Sekitar 40 persen di antaranya adalah produk jadi yang siap digunakan sebagai sumber energi alternatif. 

Menurut Enri Damanhuri, teknologi RDF sebenarnya sudah lama dipakai di negara industri. Teknologi RDF yang diperkenalkan di Indonesia adalah teknologi Jerman, terutama cover atau selimutnya. Secara sederhana RDF adalah satu cara mengubah sampah yang mempunyai kalor atau energi agar bisa dibakar.

“RDF mengurangi secara signfikan sampah yang harus dibawa ke TPA. Sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca dari metan. Bagus diterapkan khususnya untuk yang berdekatan dengan pabrik semen,” katanya.

Teknologi ini untuk Indonesia sangat cocok berdasarkan karakteristik sampah perkotaan yang umumya terdiri dari plastik dan organik. Seperti yang digunakan di Cilacap, RDF memanfaatkan sampah organik yang menjadi makanan mikroorganisme lalu menghasilkan panas. Panas yang ditimbulkan itu kemudian digunakan secara mandiri untuk mengeringkan sampah. Sementara sampah plastik keringnya sendiri memiliki nilai kalor dua kali batubara.    

Dalam penjelasannya, pakar teknologi lingkungan ITB ini memaparkan, ada dua teknologi yang dipakai pada pengolahan RDF. Pertama, teknologi pengomposan. Kedua, teknologi yang dipakai saat produk RDF digunakan pabrik semen.

“Dua-duanya teknologi ramah lingkungan. Kompos tidak ada masalah. Kemudian kalau kita bicara pabrik semen, temperaturnya tinggi, 1500 (derajat Celsius). Dioksin insyaallah tidak ada lagi di sana.”

Bio drying adalah pengeringan secara alami karena proses pengomposan. Menurut Enri, dalam literatur disebut sebagai excelarate composting atau pengomposan yang dipercepat.

“Biasanya butuh waktu 2 hingga 3 minggu, ini 7 hari. Jadi perlu rekayasa di sana. Ada mikroorganisme yang mungkin di Indonesia lebih cocok, ada enzim, ada nutrisi yang harus dimasukkan agar prosesnya bagus. Bila prosesnya bagus temperaturnya akan naik sampai 70 derajat celsius.”

Menurutnya, yang tidak dimiliki oleh Indonesia adalah teknologi selimut. Yaitu material unik untuk menutup sampah saat terjadi proses pengomposan. Fungsinya untuk mempertahankan panas, sekaligus membuat air yang ada di tumpukan mengalir sempurna agar kering. 

“Teknologi selimut ini hak patennya ada di Jerman. Kalau kita bisa membuat ini, teknologi ini bisa diterapkan di mana-mana. Di sana, di Jerman, selimutnya tidak bisa dibongkar. Jangan harap RDF ini bisa ditiru di mana-mana karena ada rahasianya di sana yang tidak bisa dibuka begitu saja. Saat saya ke Cilacap saya tidak boleh memotret.”

Sebenarnya proses pengeringan yang terjadi menurut Enri adalah proses biasa yaitu proses pengomposan fermentasi aerobik. Sehingga membutuhkan suplai oksigen, makanan, bakteri, dan proses pemanasan yang menyebabkan terjadinya pengeringan secara biologis oleh mikroorganisme yang sengaja dipelihara.

Enri menilai, kerja sama antara pemerintah daerah dan pabrik semen sebagai salah satu pengguna manfaat RDF sebagai kolaborasi yang unik. Terutama kolaborasi dalam mengelola sampah.

“Dari kacamata saya ini saling menguntungkan. Sampah akan habis, tapi tidak habis semuanya. Akan ada sekitar 20-30 persen residu. Ini akan menjadi kolaborasi yang menarik sekali terutama daerah yang berdekatan dengan pabrik semen. Karena pabrik semen bisa mengganti bahan bakar batubara. Karena di sampah ada plastik dan kertas yang kadang-kadang nilai kalornya lebih tinggi dari batubara.”

Selain itu, 75 persen plastik yang tidak terserap oleh industri untuk didaur ulang bisa masuk ke dalam fasilitas ini dan diubah menjadi bahan bakar. (bersambung)

No comments:

Post a Comment