Luwak atau musang kini juga jadi hewan peliharaan. |
Papan nama di seberang kantor desa
Kalibogor, kecamatan Sukorejo, Kendal, Jawa Tengah itu cukup mencolok. Jelas
terbaca dari arah Wonosobo maupun Temanggung.
Tertulis, “Spesial Kopi Luwak
Arabica Robusta Lereng Gunung Prau, Sindoro, Sumbing. Sedia dalam bentuk kopi
sangrai (biji matang), kopi bubuk (siap saji), feses (belum proses), grean
beans (biji beras)”.
Masuk ke dalam yang difungsikan
sebagai ruang istirahat dan menerima tamu ada banner bertuliskan “Budi daya
kopi luwak Tiga Gunung kabupaten Kendal. Tidak eksploitasi”. Kalimat terakhir
ini ditulis dengan huruf lebih besar dan mencolok. Contoh produk kopi dalam
kemasan dipajang di ruangan sederhana itu.
Seorang pekerja terlihat sedang
membersihkan kandang luwak, yang hanya berjarak beberapa langkah dari sana. Ada
puluhan kandang berisi luwak ditata rapi bertingkat. Di bawah kandang
tergeletak gumpalan feses luwak dengan biji kopi di dalamnya. Meski itu adalah
kotoran luwak, namun tidak berbau busuk. Justru terasa bau wangi lembut.
Beberapa onggok karung berisi pisang tergelelak di sudut kandang. Ada juga
pepaya di sana.
Lebih Mahal
Bagi penyuka kopi spesialiti atau
kopi premium, kopi luwak menempati kasta tertinggi. Rasa kopi luwak cenderung
tidak pahit di lidah, tidak terlalu asam, kadar kafein rendah, dan punya aroma
wangi yang khas. Kopi luwak meninggalkan rasa yang dalam dan bertahan lama di
tenggorokan.
“Aromanya berbeda, setelah jadi kopi
juga beda. Seperti ada minyaknya. Itu justru yang disukai,” kata Sugeng,
pekerja di penangkaran luwak itu menjelaskan mengapa kopi luwak banyak diburu
penikmat kopi.
Kopi luwak puluhan kali lebih mahal
dibanding kopi biasa. Bagi penikmat kopi, meski berasal dari feses (tinja) binatang,
kopi luwak memiliki cita rasa lebih mantap dibanding kopi biasa. Kabarnya,
semua ini disebabkan proses fermentasi di dalam perut luwak yang membuat kopi
luwak lebih nikmat. Luwak hanya memilih kopi yang benar-benar telah masak.
Binatang ini menjadi pemetik dan penyeleksi alam biji kopi masak lewat
penciumannya. Kulit kopi masak berwarna merah tua dan memang manis rasanya.
Luwak tangkar penghasil kopi luwak berharga mahal. |
Di penangkaran luwak diberi pakan
kopi segar yang diperoleh dari petani. Luwak akan memilih sendiri buah kopi
yang disukainya yang disediakan dalam wadah khusus.
“Luwak diberi makan biji kopi sore
hari, diberikan satu kali. Untuk 90 ekor butuh 1 kuintal kopi,” kata Sugeng.
Guna memenuhi kebutuhan konsumen,
kopi arabika didapatkan dari kecamatan Tretep, Temanggung yang berbatasan
dengan Kendal. Sementara robusta dan liberika diperoleh dari petani sekitar
Kendal.
Jika kopi biasa per kilogram basah
paling mahal mencapai Rp 10 ribu per kilogram, setelah dimakan luwak, biji kopi
yang dibuang bersama kotoran itu naik berkali lipat menjadi Rp 300 ribu hingga
Rp 1,5 juta. Bandingkan dengan harga kopi biasa kering yang perkilonya sekitar
Rp 70 ribu.
Selama ini permintaan kopi luwak
banyak datang dari Jerman, Jepang, China, Amerika Serikat, Eropa. Menurut
penuturan Sugeng, kopi luwak juga sering dibawa para TKI ke luar negeri. “Untuk
oleh-oleh, atau dititipi majikannya.”
Zaman Belanda
Beberapa literatur menyebut Belanda
membawa kopi ke Indonesia pada abad 17. Bibit kopi berasal dari Yaman, dan
dikembang biakkan di Jawa Barat. Lewat sistem tanam paksa, kopi kemudian meluas
di seluruh Jawa, Bali, hingga ke Sumatera. Dalam buku Mark Pendergrast,
Uncommon Grounds: The History of Coffee and How It Transformed Our World,
menyebut pada 1699 Belanda membawa bibit kopi dari Malabar ke Jawa.
Catatan sejarah kopi di Jawa
disinggung dalam buku dengan judul lengkap bahasa Inggris Max Havelaar or The Coffee Auctions
of the Dutch Trading Company karya Multatuli (Douwes Dekker). Disebut di sana
ada makelar kopi bernama Batavus Droogstoppel, seorang penulis novel, teman Max
Havelaar. Buku antara lain menggambarkan sistem tanam paksa yang menyengsarakan
penduduk, dan bupati yeng mengutip persentasi dari tiap pikul hasil pertanian.
Multatuli juga sedikit memberi
gambaran daun kopi yang dijadikan minuman seperti daun teh di Sumatera.
Dinikmati oleh para kuli perkebunan untuk menyegarkan badan.
Minuman teh daun kopi, sudah dimanfaatkan di era kolonial. |
Java jive, sebuah lagu dibuat tahun
1940 bercerita tentang sang penyanyi yang menyukai kopi. Tawaran “a cup of
Java” di pagi hari atau suasana santai di Amerika merujuk pada ajakan minum
kopi. Java memang identik sebagai nama lain kopi, karena kopi menjadi komoditi
penting dunia pada masa kolonialisme yang dihasilkan dari Jawa.
Beberapa sumber menyebut penemuan
kopi luwak bermula saat para pekerja perkebunan kopi milik Belanda ingin
menikmati kopi seperti tuannya. Karena melarang memetik untuk dirinya sendiri,
para pekerja ini menemukan bahwa luwak suka makan biji kopi dan meninggalkan
biji kopi itu beserta kotorannya. Setelah dibersihkan dan diolah ternyata kopi
dari kotoran luwak ini sangat enak. Hingga akhirnya, pemilik perkebunan pun
tahu dan meminta kopi luwak untuknya. (Bersambung)
No comments:
Post a Comment