Konservasi Lingkungan Memakai Pendekatan Etnoekologi, Seperti Apa? (Bagian 1)

Heddy Shri Ahimsa Putra
Kini istilah etno dari etnosains yang dilekatkan pada kajian tertentu sering ditemui. Meski relatif terlambat, perkembangannya di dunia ilmu dan pengaruhnya terhadap kebijakan sosial di Indonesia patut disyukuri. Sebab suara masyarakat kembali didengar.

Misalnya pendekatan etnoekologi untuk mengurai permasalahan pelestarian hutan yang melibatkan masyarakat adat. Mereka memiliki konsep sendiri tentang hutan yang berbeda dengan masyarakat di luar hutan. Dengan memakai pandangan mereka, hutan bisa saja tetap lestari tanpa harus menyingkirkan masyarakat adat yang sudah lama hidup dan bergantung pada hutan.

Untuk langsung menuju tulisan bagian kedua klik di sini.

Untuk langsung menuju tulisan bagian ketiga atau terakhir klik di sini.

Gambaran itu muncul pada pemaparan yang disampaikan Heddy Shri Ahimsa Putra, guru besar antropologi UGM, dalam talkshow Etnoekologi Indonesia, Sabtu, 25 November 2017, di Auditorium Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta.


"Etnoforestry kehutanan rakyat menurut orang lokal seperti apa, bukan menurut perspektif orang Perhutani. Bisa repot,“ kata guru besar antropologi UGM, yang beberapa kali melakukan penelitian ekologi ini.
 

“Peneliti menjadi tahu dari sudut pandang tertentu, ternyata bagi masyarakat sesuatu itu sangat penting.”
 

Talkshow juga menghadirkan Guru Besar Pendidikan Biologi UNY, I Gusti Putu Suryadarma, yang membawakan topik Etnoekologi Dasar Pembangunan Sambung Budaya, dan Doktor Sudaryanto, pengajar Universitas Udayana dengan topik Peran Awig-Awig dalam Menjaga Kelestarian Jalak Bali. Talkshownya sendiri bertema ‘’Harmonisasi Alam dan Manusia melalui Nilai Kearifan Lokal di Indonesia’’. 

 

Pengaruh Antropologi  

Petani dan sedekah bumi.

Secara keilmuan istilah etno yang berkembang sekarang berasal dari antropologi yaitu etnografi, yang berusaha mendeskripsikan kebudayaan suatu masyarakat. “Etnografi itu bahan baku antropologi. Sementara Antropologi adalah cabang ilmu yang mempelajari kebudayaan.”
 

Dengan meminjam istilah dari ilmu linguistik, antropologi membedakan deskripsi fonemik dan fonetik. Fonemik merujuk pada pandangan orang lokal atau yang diteliti (tineliti) dan fonetik merujuk pada perspektif peneliti. Sehingga yang dimaksudkan etnoekologi adalah lingkungan menurut pandangan masyarakat lokal atau orang yang diteliti.
 

Ahimsa mencontohkan, kayu api bagi orang Indian suku Tzeltzal tidak sesederhana yang dipahami orang luar (Barat). 
 

“Suku Tzeltzal memandang kayu api bisa seperti antara hidup dan mati. Mereka punya klasifikasi sendiri yang rumit tentang kayu api. Ada kayu basah, kering. Jenis kayu tertentu untuk memasak makanan tertentu.”   
 

Ia pun berbagi pengalaman. Dalam penelitiannya yang kemudian dimuat di majalah Prisma, dengan judul Air dan Sungai Ciliwung, sebuah Kajian Etnoekologi yang diterbitkan pada 1997, Ahimsa menemukan hal menarik. Ternyata pandangan mengenai air bersih dan kotor masyarakat Kampung Melayu yang tinggal di pinggiran Sungai Ciliwung berbeda dengan orang Jakarta.  
 

Meski kala itu pemerintah kota sudah membuatkan kamar mandi umum, namun mereka masih sering mandi di sungai Ciliwung.
 

“Ternyata konsep bersih dan kotor berbeda untuk warga Kampung Melayu. Air yang mengalir itu bersih. Air menggenang itu kotor. Mereka membandingkannya dengan air got yang menggenang dan berbau. Sumur juga berbau. Sementara air Ciliwung saat itu mengalir dan tidak berbau. Air Ciliwung dianggap lebih bersih.“
 

Keragaman suku bangsa dan bahasa di Indonesia menurutnya seharusnya menjadi tempat subur untuk penelitian etnoekologi. 
 

Presentasi Heddy Shri Ahimsa Putra
“Indonesia memiliki 720 bahasa. Kekayaan yang luar biasa kalau mau mempelajari etnoekologinya,” katanya, sembari menambahkan meski pada tahun 1985-an ia sudah melakukan penelitian etnosains namun baru akhir-akhir ini pendekatan itu banyak diterapkan.
“Saya merasa ilmu sosial, ilmu budaya ketinggalan sekitar 30 tahun. Entah dengan kemajuan teknologi informasi seperti internet apakah keterlambatan ini bisa kita kejar.”
 

Terlebih penelitian antropologi di Indonesia yang agraris membutuhkan waktu cukup lama, minimal 1 tahun. Hal ini karena perilaku masyarakat petani mengikuti siklus tanaman pangan atau pertanian sekitar 1 tahun. (Bersambung) 

No comments:

Post a Comment