Mulyoharjo |
Mulyoharjo, 73 tahun, perlahan menghabiskan nasi
kotak yang ia terima setelah menghela gerobak sapinya keliling desa sepanjang
kurang lebih 15 kilometer. Ia baru saja mengikuti kirab gerobak sapi dalam
rangka acara Merti Dusun Saren, di Wedomartani, Ngemplak, Sleman, Minggu, 16
Oktober 2016. Kulitnya legam, rambutnya memutih. Gurat-gurat wajahnya merekam
kerasnya kehidupan yang telah dijalani. Ia seorang bajingan.
“Sudah, sejak simbah buyut,” katanya saat ditanya
berapa lama ia menekuni pekerjaan sebagai bajingan. Menurut pengakuannya, orang
tuanya dulu bajingan terkenal di Kalasan. “Di zaman Belanda, gerobak sapi orang
tua saya untuk mengangkut tebu. Dari ladang, dibawa pakai gerobak terus ke
montit atau sepur (kereta) penarik tebu.”
Berbeda dengan generasi di atasnya, kini gerobak
sapinya tak lagi untuk mengangkut tebu. Kadang-kadang untuk narik (membawa)
batu bata atau pasir. Sementara sapinya masih dipakai untuk membantunya bekerja
di sawah. Di waktu-waktu tertentu, dua sapinya ikut acara budaya, seperti Merti
Dusun Saren 16 Oktober, atau Festival Gerobak Sapi pada 24 September 2016 lalu
di Bantul.
“Sekarang orang kalau narik memilih memakai
kendaraan bermotor,” katanya sambil menutup kotak nasinya. Isinya telah tandas.
Saya lalu mendekat untuk mengambil gambar salah satu
sapi yang ditambatkan pada dua buah patok. Didekati, sapi itu gelisah.
Kepalanya bergerak ke sana ke mari. Hidungnya mendengus-dengus.
Hariyadi (depan), Noto (belakang) |
Haryadi, 40 tahun, warga Sambirejo, Selomartani,
Sleman kemudian menepuk-nepuk punggung sapi jenis Ongole miliknya. Sapi itu
mulai tenang. Bersama orang tuanya, Noto, 75 tahun, mereka mengikuti kirab
gerobak sapi keliling desa. Menurut Haryadi, ia adalah generasi keempat pemilik
gerobak sapi dalam keluarganya.
“Kakek saya juragan kacang. Gerobak sapinya dulu
untuk mengangkut kacang. Akhirnya nurun ke orang tua saya, sering nebas
kacang,” katanya tersenyum. “Ketela dan padi,” kata Noto, menambahkan
keterangan anaknya.
Dulu Noto memanfaatkan gerobaknya untuk sarana
mengangkut jual beli hasil pertanian. Saat kendaraan bermotor masih langka,
gerobak sapi jadi andalan.
“Biasa beli rendeng (daun sisa panen sayuran atau
kacang tanah) sampai Jogja. Kalau ketela sampai Karang Kajen, Godean, Demak
Ijo. Itu tahun 63-an,” kata Noto.
Jarak dari Selomartani ke Jogja sekitar 30
kilometer. Bisa dibayangkan jika gerobak sapi hanya bisa melaju dengan
kecepatan sekitar 5 kilometer per jam. Maka jarak itu ditempuh sekitar 6 jam,
di luar jam istirahat.
“Kalau dari sini ke Bantul semalam sampai. Dari
rumah berangkat jam 5 sore, istirahat sebentar, jam 8 malam berangkat lagi.
Sampai Niten, Bantul jam 4 pagi sambil membawa ketela,” kata Noto. “Pulang lagi
jam 3 sore, sampai rumah tengah malam.”
Kala itu gerobak sapi menjadi sarana transportasi
andalan untuk mengangkut hasil pertanian. Tingginya permintaan angkutan gerobak
sapi membuat pendapatan bajingan menggiurkan.
Gerobak sapi untuk wisata |
Namun masa keemasan profesi sebagai bajingan terus
menurun, seiring dengan bertambahnya kendaraan bermotor yang berfungsi
mengangkut hasil pertanian. Selain bisa menempuh jarak tempuh yang jauh, juga
lebih cepat, dan murah.
“Gerobak sapi sekarang untuk wisata,” kata Hari.
Tentang perubahan fungsi gerobak sapi, bisa baca juga di sini. (Bersambung)
Tentang perubahan fungsi gerobak sapi, bisa baca juga di sini. (Bersambung)
No comments:
Post a Comment