Iskandar Waworuntu pindah dari Bali ke Yogyakarta pada 2000 dan mendirikan Bumi Langit Institute. Dia mengenalkan praktik baik bagaimana manusia semestinya memperlakukan alam. Berikut bagian kedua atau terakhir dari tulisan mengenai sosok dan pemikiran Iskandar Waworuntu.
Jadi Anda percaya bahwa makanan yang baik bisa jadi solusi?
Itu menjadi prakondisi yang tidak bisa tidak harus kita miliki dalam menghadapi ketidakadilan. Sekarang kan sedang terjadi ketidakadilan yang amat sangat terhadap alam. Terjadi eksploitasi luar biasa terhadap manusia, manusia semata-mata dijadikan budak industri.
Kita dibuat bergantung kepada produk-produk industri, itu kan eksploitasi. Mestinya kita punya martabat, punya kedaulatan. Sekarang mana, siapa manusia yang punya kedaulatan, semua dipenjara hidup di kota.
Anda ingin mengajak mereka kembali ke desa?
Mengajak untuk sadar pentingnya melihat esensi persoalan. Melihat persoalannya bagaimana, ketidak adilan itu sebabnya di mana. Kalau kita mau menuntut ketidakadilan, kita tak bisa melakukan apapun sebelum bersikap adil terhadap tubuh kita. Kalau kita masih makan yang sifatnya meracuni tubuh, minum yang sifatnya meracuni tubuh, menghirup udara yang meracuni tubuh, melihat hiburan atau mendapat pengetahuan yang menghancurkan pikiran sehat kita, itu bagian dari kecelakaan yang harus kita sikapi. Kalau belum bersikap adil terhadap hal-hal tersebut bagaimana kita mau jadi solusi bagi bumi?
Apakah Anda berarti sedang mengasingkan diri dari “pusat” yang memproduksi ketidakadilan?
Ya sebenarnya, kalau boleh saya bilang itu harus dilakukan. Itu bagian dari budaya kehidupan manusia yang hilang. Yaitu kalau dulu terkait dengan apa yang disebut tirakat. Tirakat adalah sikap hidup
dalam rangka mengurangi ketidakpantasan. Berlebihan dalam sebuah gaya hidup, yang akhirnya menjadi masalah bagi kehidupan kita.
Barang-barang yang ada pengawet, penyedap, dan segala macam produk yang residunya tidak terurai akan menjadi problem bagi anak-anak dalam perkemban
gannya menjadi manusia dewasa. Bahkan waktu ibu hamil, anak-anak itu terpengaruh saat masih menjadi janin.
Tanaman murbei yang tumbuh di kebun Bumi Langit. |
Jadi apa sebenarnya yang ingin dicapai dengan Bumi Langit Institute ini?
Kalau saya sekadar memfasilitasi. Jadi orang datang ke sini cuma sebatas senang dengan pemandangannya alhamdulillah, wong memang Allah itu indah kok. Kalau ada orang datang ke sini merasakan makanannya kok enak, yang merasakan itu 100 trilyun sel yang ada di tubuhnya.
Makanan yang tidak hak itu akan dikutuk oleh tubuh kita, dan itu bahayanya luar biasa karena kita menzolimi. Sementara doa makhluk yang terzolimi bentuknya kutukan. Jadi interaksi dengan tubuh kita selama ini hanya menghasilkan kutukan. Hampir semua penyakit yang dialami oleh manusia itu terjadi karena kutukan, bukan karena kehendak Allah.
Anda seperti sedang mengetuk pintu setiap rumah, setiap keluarga untuk meneliti kembali apa yang mereka makan…
Saya rasa kalau kita kaitkan dengan konsekuensi sebagai muslim, bahkan sebagai manusia secara esensi, itu amanah, itu kewajiban. Jadi kalau ada orang merasakan makanan, kok makanannya beda, lalu dia ingin tahu lebih banyak, kita ceritakan. Begini cara membuatnya, ini konsepnya. Bagaimana caranya kita bertani, yang paling bagus langsung terlibat dengan menanam. Bagaimana kita menjalin hubungan dengan alam, nah kami punya kurikulumnya.
Jadi banyak tamu yang makan di sini kemudian tertarik untuk ingin tahu lebih banyak?
Dan cukup banyak yang akhirnya memutuskan menjadi volunter, untuk tinggal di sini dalam waktu sementara. Ada juga yang ikut pelatihan-pelatihan kami, mulai dari pelatihan pendek sampai yang lama. Yang pokok ya mulai dari PDC, Permaculture Design Course. Itu pendidikan dua minggu yang mengajarkan kita kembali tentang bagaimana menjadi, kalau bahasa Islamnya itu khalifah.
Apa yang sedang Anda lakukan terlihat berbeda dengan arus besar yang terjadi saat ini?
Amat berbeda. Saya sendiri tidak bercita-cita mau melawan arus, atau apa. Kalau saya ngeli ning ora keli, mengalir tapi tidak hanyut.
Saya tidak bisa hidup tanpa uang, memakai teknologi, tapi jangan hanyut. Itulah kepentingan untuk kembali mempunyai self control, mempunyai budaya tirakat. Saat semua orang pesta kita tidak ikut pesta. Saat ini semua orang sedang berpesta dengan kemudahan-kemudahan yang bukan haknya dia, dengan mengambil dari alam, dari manusia lain. Untuk bisa bersikap seperti itu kita harus punya jarak. Kalau saya harus lakukan di kota lebih susah.
Dalam film Semesta juga dikaitkan dengan perubahan iklim…
Itukan memang salah satu isu paling populer. Isu yang paling catchword. Sebenarnya isunya kan lebih daripada sekadar perubahan iklim. Kalau saya melihat perubahan iklim, kerusakan lingkungan, krisis alam, krisis iklim itu karena krisis manusia. Jadi ya ayo kita perbaiki manusianya.
Pemaparan saya cukup detil dan cukup keras, cukup ekstrem. Dalam film, oleh Nicho dan teman-teman, saya berhasil dijinakkan dalam porsi yang masih sampai messagenya tetapi tidak shock bagi orang-orang yang mungkin merasa punya kepentingan. Saya juga sadar jika apa adanya mungkin juga tidak akan bisa tayang. Ya sedikit-sedikitlah.
Bisa belajar permaculture di Bumi Langit Institute. |
Tetapi saya tidak berdasarkan kebencian. Bagi saya ya udah, industri jalan saya jalan. Kalau industri kebetulan memutuskan untuk memproduksi kebaikan, mereorganisasi cara dia dalam memproduksi produk berdasarkan apa yang disebut thoyib, environmentally sound, socially adjusted, ya saya akan pakai barangnya lah. Tapi asal usulnya dijelaskan dulu dong.
Artinya Anda tidak menolak modernisasi?
Bagaimana bisa menolak, itu kan sudah jadi bagian kehendak zaman. Bahkan saya sendiri tidak pura-pura mengaku alim. Sayapun masih terjebak. Saya masih beli baju dari industri, beli sarung dari proses itu. Di baju yang saya pakai ada kedzoliman, alam juga ikut tercemar dalam pembuatan baju. Secara sosial mungkin ada banyak orang yang dirugikan.
Yang penting kita sadar. Kalau sadar saja tidak dan bahkan menganggap diri kita benar, itu yang dibilang ignorance, itu yang dibilang jahiliyah. Kebodohan, ketakacuhan. ***
No comments:
Post a Comment