Konservasi Lingkungan Memakai Pendekatan Etnoekologi, Seperti Apa? (Bagian 3)

Sudaryanto

Belajar dari Awik-awik


Pada kurun waktu 2004 hingga 2006, sejumlah pecinta burung dan dosen Universitas Udayana yang tergabung dalam Friends of the National Parks Foundation (FNPF) mengkampanyekan perlunya konservasi Jalak Bali kepada 46 desa adat di Nusa Penida. Perlahan, akhirnya seluruh desa adat mengadobsi aturan perlindungan Jalak Bali ke dalam Awik-awik.   

Sudaryanto, yang melakukan penelitian doktornya tentang konservasi Jalak Bali mengungkapkan, hasilnya jumlah populasi Jalak Bali di Nusa Penida meningkat pesat.

“Di Nusa Penida kita bisa dengan mudah menjumpai Jalak Bali di pinggir jalan. Pada pengamatan April 2017, saya menyaksikan 1 pohon ada 11 ekor burung. Pengamatan tahun 2009, 1 pohon ada 40 ekor Jalak Bali, dan pada 2015 bahkan ada 65 ekor pada satu pohon.”

Untuk langsung menuju tulisan bagian pertama klik di sini.

Untuk langsung menuju tulisan bagian kedua klik di sini.
 
Sebelumnya, menurutnya Jalak Bali merupakan salah satu burung paling kritis populasinya di dunia. Burung endemik Bali ini dulu hanya dijumpai di Bubunan, lalu menyebar ke Bali barat dan tidak ditemukan di Nusa Penida. Kelangkaan antara lain dipicu oleh penangkapan untuk diperjualbelikan. Pada 2004, karena langka harga Jalak Bali bisa mencapai Rp40 juta, kini bisa mencapai Rp10 juta. 

Populasi Jalak Bali di Taman Nasional Bali Barat (TNBB) pada 2016 ada 4 ekor. Data yang disampaikan pada konferensi peneliti burung di Bali 2017 ada 90 ekor. Berita terakhir yang dilansir kepala TNBB di alam jumlahnya 109 ekor, sementara di penangkaran 273 ekor.


Upacara pemberian sesaji di Bali.
Keberhasilan konservasi Jalak Bali di Nusa Penida karena aturan adat yang dipegang teguh masyarakat Bali. Di dalam Awik-awik yang dulu ditulis dalam lontar, disebutkan larangan memanfaatkan, menangkap, dan membunuh Jalak Bali kecuali untuk pengobatan dan keperluan adat. Itupun harus dengan izin. 

Di dalamnya disertakan sanksi dan denda. Misalnya di desa Lembongan, disebutkan tidak boleh menembak burung. Sanksinya pelaku diadili dalam rapat desa, tidak mendapat hak sebagai warga seperti yang tercantum dalam Awik-awik selama satu tahun.

Selain dimasukkan ke dalam aturan adat, pelepas liaran Jalak Bali di Nusa Penida dilakukan di pura. Pelepas liaran di pura menggunakan upacara adat, dan waktunya berdasarkan hari baik.

“Tujuannya kalau dilepas di pura maka burung itu dianggap milik pura, sehingga masyarakat akan menjaganya,” katanya.

Faktor lain yang membuat keberhasilan konservasi Jalak Bali di Nusa Penida karena tersedianya cukup makanan di sana. Di pulau ini luas jelajah burung dalam mencari makan hanya 5,79 hektare, bandingkan dengan di Bali Barat yang mencapai 23 hektare.

Menurut Sudaryanto, perilaku makan Jalak Bali menarik. Pada bulan November hingga Januari Jalak Bali banyak makan buah. Februari hingga Juli makan serangga, Sementara pada Agustus sampai Oktober minum nektar bunga.


Presentasi Sudaryanto tentang Jalak Bali.
“Sekitar pukul 6 sampai 10 pagi banyak dijumpai Jalak Bali minum nektar bunga sepatu. Kalau makan buah menunggu buah itu dilukai oleh burung terucuk atau kutilang. Kalau minum memanfaatkan sumur, bergantian dengan warga. Biasanya burung datang ke sumur setelah jam 10 pagi ketika warga selesai menggunakan sumur.”

Populasi yang tinggi akan Jalak Bali di Nusa penida akhirnya menarik wisatawan khusus untuk melihat keberhasilan konservasi. Misalnya beberapa waktu lalu, wisatawan kapal pesiar The National Geographic Orion datang ke Nusa Penida khusus menyaksikan Jalak Bali.*** (Habis)

No comments:

Post a Comment