Ada Luwak di Dalam Kopi Enak (2)


Feses luwak dengan biji kopi yang tertinggal di dalamnya.
Luwak (Paradoxurus Hermaphroditus) adalah binatang mamalia, masuk dalam keluarga viverridae. Luwak juga dikenal dengan sebutan musang, atau linsang. 

Di alam liar, luwak pemakan kopi kerap dijumpai di dekat sungai, yang terdapat perkebunan kopi, dengan kontur berbukit. Luwak termasuk binatang malam, dan suka hidup di atas pohon. Mereka menandai wilayahnya dengan bau-bauannya yang khas. 

Selain makan buah-buahan, luwak juga suka makan serangga, ikan, belut. Menurut Sugeng, luwak yang dipelihara di tempatnya bekerja selain diberi makan buah-buahan juga diberi makan ikan bawal.

Ada dua jenis yang dipelihara di penangkaran, luwak kembang dan pandan. Luwak kembang bercirikan bulunya ada bagian yang berwarna putih keabu-abuan. Sementara luwak pandan warna bulunya lebih gelap.   

Langka


Luwak kadang-kadang juga ditemukan di perkampungan. Ini karena habitat luwak rusak sehingga mereka terpaksa mencari makan di rumah penduduk. Karena kelaparan mereka makan burung piaraan atau ayam di malam hari.

Tingginya permintaan dan harganya yang kelewat mahal membuat banyak petani akhirnya membudidayakan luwak untuk diambil feses yang ada biji kopinya. Terlebih keberadaan luwak di alam liar semakin jarang.

Beberapa tahun belakangan mulai marak menjadikan luwak atau musang sebagai binatang piaraan. Sebagai hewan eksotis, luwak memang bisa dijadikan hewan piaraan seperti kucing. Bulunya lembut dan suka dibelai.  

Kandang sederhana berisi luwak pandan dan luwak kembang.
Luwak juga disebut palm civet cat. Ini karena bentuknya memang mirip kucing, dengan ekor yang lebih panjang, kaki lebih pendek, dan sering terlihat di pohon aren. 

Mukanya mirip rakun. Warna bulunya hitam, abu-abu, bercampur bercak kuning emas dan putih. Seperti kucing, luwak punya kumis juga. Namun dibanding moncong kucing, punya luwak lebih runcing.

Ditemui dalam kesempatan berbeda, Tuhar, petani kopi di Temanggung, berbagi cerita kebiasaan luwak liar yang masih bisa ditemui di kebunnya.

“Di kebun saya ada yang liar. Luwak liar memilih satu pohon yang biji kopinya merah semua, yang terkena matahari langsung.”

Setelah aktif makan di malam hari, luwak liar membuang kotorannya di kebun kopi, di atas batu, atau di perkebunan bambu. Pada pagi hari petani kopi mengumpulkannya untuk dipisahkan dengan kopi hasil petik.

“Kalau yang sudah ahli mencium, kopi hasil luwak tangkar atau liar bisa tahu,” katanya saat ditanya apa beda kopi luwak liar dan tangkar.

Dalam sebuah pameran, Tuhar pernah membawa kopi luwak 15 kilogram dan dibeli per kilonya Rp 1,5 juta. Meski begitu dia tidak tertarik untuk menangkar luwak dan lebih memilih menjadi petani kopi dan memproduksi kopi hasil tanam kebun.

“Saya tidak mau lama-lama orang mengenal saya Tuhar luwak,” katanya bercanda.  

Kesejahteraan Satwa


Mahalnya kopi luwak, dan tingginya pemintaan kopi menyebabkan petani berpikir untuk membudidayakannya. PETA (People for the Ethical Treatment of Animals), beberapa waktu lalu melakukan investigasi di Indonesia dan Filipina sebagai negara penghasil kopi luwak terbesar dunia. Mereka mengklaim menemukan sejumlah perlakuan yang tidak memperhatikan kesejahteraan satwa.

Dalam investigasinya mereka mendapati  luwak yang dimasukkan ke dalam kandang sempit menjadi stres, luka karena menggigiti kandang. Pemberian pakan yang salah menyebabkan mereka kurus, dan banyak yang mati.

BBC juga melakukan liputan investigasi di Indonesia pada 2013. Mereka menemukan luwak berada dalam kandang sempit dan tanpa tempat memanjat. Padahal di alam liar satwa ini suka memanjat dan berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya. 

Sugeng memunguti feses luwak dari bawah kandang.
Kopi luwak yang dihasilkan dari petani ini kemudian diekspor oleh perantara dengan label kopi luwak liar, hingga sampai ke Inggris. Tidak ada penjelasan dalam kemasan bahwa kopi luwak diperoleh dari luwak yang dikandangkan. 

Terkait masih adanya penangkar yang tidak memperhatikan kesejahteraan satwa, Mukidi, petani dan aktivis gerakan petani kopi mandiri asal Temanggung mengatakan di daerahnya memang masih ada yang menangkarkan luwak untuk menghasilkan kopi mahal.


“Sangat sedikit yang dipelihara. Lebih banyak yang liar, tidak ditangkar. Menurut saya asal liar ok. Kalau ditangkar harus diperhatikan bagaimana dia dirawat, jangan sampai dipaksa.”(Habis)***

No comments:

Post a Comment