Ada Luwak di Dalam Kopi Enak (1)


Luwak atau musang kini juga jadi hewan peliharaan.
Papan nama di seberang kantor desa Kalibogor, kecamatan Sukorejo, Kendal, Jawa Tengah itu cukup mencolok. Jelas terbaca dari arah Wonosobo maupun Temanggung. 

Tertulis, “Spesial Kopi Luwak Arabica Robusta Lereng Gunung Prau, Sindoro, Sumbing. Sedia dalam bentuk kopi sangrai (biji matang), kopi bubuk (siap saji), feses (belum proses), grean beans (biji beras)”.

Masuk ke dalam yang difungsikan sebagai ruang istirahat dan menerima tamu ada banner bertuliskan “Budi daya kopi luwak Tiga Gunung kabupaten Kendal. Tidak eksploitasi”. Kalimat terakhir ini ditulis dengan huruf lebih besar dan mencolok. Contoh produk kopi dalam kemasan dipajang di ruangan sederhana itu.    

Seorang pekerja terlihat sedang membersihkan kandang luwak, yang hanya berjarak beberapa langkah dari sana. Ada puluhan kandang berisi luwak ditata rapi bertingkat. Di bawah kandang tergeletak gumpalan feses luwak dengan biji kopi di dalamnya. Meski itu adalah kotoran luwak, namun tidak berbau busuk. Justru terasa bau wangi lembut. Beberapa onggok karung berisi pisang tergelelak di sudut kandang. Ada juga pepaya di sana.

Lebih Mahal

Bagi penyuka kopi spesialiti atau kopi premium, kopi luwak menempati kasta tertinggi. Rasa kopi luwak cenderung tidak pahit di lidah, tidak terlalu asam, kadar kafein rendah, dan punya aroma wangi yang khas. Kopi luwak meninggalkan rasa yang dalam dan bertahan lama di tenggorokan.     

“Aromanya berbeda, setelah jadi kopi juga beda. Seperti ada minyaknya. Itu justru yang disukai,” kata Sugeng, pekerja di penangkaran luwak itu menjelaskan mengapa kopi luwak banyak diburu penikmat kopi.

Kopi luwak puluhan kali lebih mahal dibanding kopi biasa. Bagi penikmat kopi, meski berasal dari feses (tinja) binatang, kopi luwak memiliki cita rasa lebih mantap dibanding kopi biasa. Kabarnya, semua ini disebabkan proses fermentasi di dalam perut luwak yang membuat kopi luwak lebih nikmat. Luwak hanya memilih kopi yang benar-benar telah masak. Binatang ini menjadi pemetik dan penyeleksi alam biji kopi masak lewat penciumannya. Kulit kopi masak berwarna merah tua dan memang manis rasanya. 

Luwak tangkar penghasil kopi luwak berharga mahal.
Di penangkaran luwak diberi pakan kopi segar yang diperoleh dari petani. Luwak akan memilih sendiri buah kopi yang disukainya yang disediakan dalam wadah khusus.

“Luwak diberi makan biji kopi sore hari, diberikan satu kali. Untuk 90 ekor butuh 1 kuintal kopi,” kata Sugeng.

Guna memenuhi kebutuhan konsumen, kopi arabika didapatkan dari kecamatan Tretep, Temanggung yang berbatasan dengan Kendal. Sementara robusta dan liberika diperoleh dari petani sekitar Kendal. 

Jika kopi biasa per kilogram basah paling mahal mencapai Rp 10 ribu per kilogram, setelah dimakan luwak, biji kopi yang dibuang bersama kotoran itu naik berkali lipat menjadi Rp 300 ribu hingga Rp 1,5 juta. Bandingkan dengan harga kopi biasa kering yang perkilonya sekitar Rp 70 ribu.

Selama ini permintaan kopi luwak banyak datang dari Jerman, Jepang, China, Amerika Serikat, Eropa. Menurut penuturan Sugeng, kopi luwak juga sering dibawa para TKI ke luar negeri. “Untuk oleh-oleh, atau dititipi majikannya.”

Zaman Belanda


Beberapa literatur menyebut Belanda membawa kopi ke Indonesia pada abad 17. Bibit kopi berasal dari Yaman, dan dikembang biakkan di Jawa Barat. Lewat sistem tanam paksa, kopi kemudian meluas di seluruh Jawa, Bali, hingga ke Sumatera. Dalam buku Mark Pendergrast, Uncommon Grounds: The History of Coffee and How It Transformed Our World, menyebut pada 1699 Belanda membawa bibit kopi dari Malabar ke Jawa. 

Catatan sejarah kopi di Jawa disinggung dalam buku dengan judul lengkap bahasa  Inggris Max Havelaar or The Coffee Auctions of the Dutch Trading Company karya Multatuli (Douwes Dekker). Disebut di sana ada makelar kopi bernama Batavus Droogstoppel, seorang penulis novel, teman Max Havelaar. Buku antara lain menggambarkan sistem tanam paksa yang menyengsarakan penduduk, dan bupati yeng mengutip persentasi dari tiap pikul hasil pertanian.

Multatuli juga sedikit memberi gambaran daun kopi yang dijadikan minuman seperti daun teh di Sumatera. Dinikmati oleh para kuli perkebunan untuk menyegarkan badan.     

Minuman teh daun kopi, sudah dimanfaatkan di era kolonial.
Java jive, sebuah lagu dibuat tahun 1940 bercerita tentang sang penyanyi yang menyukai kopi. Tawaran “a cup of Java” di pagi hari atau suasana santai di Amerika merujuk pada ajakan minum kopi. Java memang identik sebagai nama lain kopi, karena kopi menjadi komoditi penting dunia pada masa kolonialisme yang dihasilkan dari Jawa.


Beberapa sumber menyebut penemuan kopi luwak bermula saat para pekerja perkebunan kopi milik Belanda ingin menikmati kopi seperti tuannya. Karena melarang memetik untuk dirinya sendiri, para pekerja ini menemukan bahwa luwak suka makan biji kopi dan meninggalkan biji kopi itu beserta kotorannya. Setelah dibersihkan dan diolah ternyata kopi dari kotoran luwak ini sangat enak. Hingga akhirnya, pemilik perkebunan pun tahu dan meminta kopi luwak untuknya. (Bersambung)

No comments:

Post a Comment