Belajar dari Promotor Musik Prambanan Jazz (1)

Anas Syahrul Alimi


“Bisnis saya ini jualan tiket.”

Saya bertemu Anas Syahrul Alimi usai ia tampil sebagai pembicara di acara, Mocosik, pertengahan Februari lalu, menjelang hari Valentine, di Jogja Expo Center.

Siang itu, promotor musik teratas di era milenial itu mengenakan topi derby, dengan tubuh berbalut jaket gaya vintage. Ia baru saja menjadi salah satu penampil dalam acara yang memadukan antara buku dan musik. Dirinya bicara soal rahasia pekerjaan yang disenanginya, yaitu menggelar acara, tontonan, atau apapun namanya. Yang pasti orang-orangnya mengundang orang berbondong-bondong untuk datang ke acaranya, dengan atau tanpa tiket.

Nama Anas kian berkibar, setelah sukses menggelar berbagai event musik yang mendatangkan artis top dunia seperti David Foster, Michael Learns to Rock, Boys II Men, Sarah Brightman, atau Dream Theater. Tidak di ibukota, Jakarta, tapi di Yogyakarta.

Sambil menyeruput kopi, ia menjawab satu dua pertanyaan yang saya ajukan. Di antaranya apa tanggapannya saat sebuah kementerian membajak acara Prambanan Jazz, juga acara musik yang berujung tragis, matinya sang promotor karena bunuh diri di Jogja. Namun maaf, soal ini tidak akan saya ceritakan di sini.



Sold Out 

“Bisnis saya ini jualan tiket,” katanya, di atas panggung, di hadapan ratusan orang yang memenuhi salah satu ruang JEC. “Tapi pas hari H banyak sekali orang yang minta tiket gratisan.”

Nada dan gesturenya seperti berbicara kepada kawan karib.

Mungkin begitulah risiko punya banyak kenalan, dan kenalannya adalah kawan zaman mahasiswa yang terpelihara hingga sekarang, dan mereka masih suka gratisan. He he..

Ia memaparkan fakta, untuk menghasilkan event berkualitas memang perlu biaya besar. Biaya itu sebagian ditanggung sponsor. Sebagian lagi siapa lagi kalau bukan penonton.m

Rajawali Indonesia Communication, EO yang dimilikinya, termasuk yang pertama bikin tiket pertunjukan mahal untuk penonton di kota sekelas Jogja.

“Kami pertama kali bikin event harga tiket Rp1,5 juta. Prambanan Jazz juga Rp1,5 juta. Kami heran kenapa itu bisa sold out.”

Padahal Jogja hampir identik dengan yang murah (tapi tidak murahan). Tuhan tidak sedang bercanda.

Baliho Prambanan Jazz 2017
Prambanan Jazz pertama kali digelar 16 Oktober 2015, menampilkan musisi Kenny G. Dua hari jelang pelaksanaan, tiket kelas festival dan gold sudah ludes alias sold out. Pada Prambanan Jazz jilid 2, Boys II Men, Rick Price tampil. Tiket sold out lagi untuk hampir semua kelas. Di jilid 3, salah satu penampil adalah Sarah Brightman. Tiket presale, lagi-lagi, sold out.

“Memang harus ada sesuatu yang beda yang bisa ditawarkan ke orang,” kata Anas.

Kredo dunia bisnis yang nyaris basi ini pula yang ia terapkan di Prambanan Jazz. Nyatanya kredo itu masih teruji kebenarannya.

Ribuan orang datang ke Prambanan, bukan untuk study tour. Tapi menikmati tontonan berkualitas, di tempat bagus, dan harus bayar ratusan ribu.

“Orang datang ke Prambanan Jazz tidak hanya menonton konser. Di situ banyak yang mau kita jual.”

Kalau target marketnya adalah orang yang berdomisili di luar kota Jogja, maka alasan untuk kembali datang itu kebanyakan karena nostalgia.

“Mereka setidaknya pernah datang ke Jogja, atau pernah sekolah di Jogja. Atau pernah menikmati kuliner di Jogja. Pernah punya pacar di Jogja, bahkan dapat istri di Jogja.”

Noted. Pertama, yang ingin dijualnya adalah kenangan.

Baliho Prambanan Jazz
Tak cukup dengan itu, ia juga menjual Prambanan dan nuansa yang menyelimutinya. Saya menyebutnya ambience. Ini yang kedua.

Bayangkan jika ada semburat cahaya jingga saat senja di sana, atau purnama yang menggantung di tepi panggung.

Sebagai maha karya, Prambanan nyaris serupa magic. Ingat kisah Bandung Bondowoso membangun seribu candi dalam semalam?  Dengan cara tertentu ia dengan sendirinya telah mengundang orang untuk datang ke candi perlambang upaya cinta itu.

Ketiga, polah sang artis sebagai idola. Idola sama dengan magnet, yang bisa menarik orang dan uang.

Soal sponsor, lagi-lagi Tuhan sayang kepada Anas.

Untuk event seperti Prambanan Jazz, ia tak lagi pusing mencari sponsor utama yang berminat menyetor modal. Sebab merekalah yang justru menawarkan diri. 

“Ketika event kita sudah terbranding dengan baik, sponsor akan datang. Kami sekarang yang membiding sponsor utama untuk Prambanan Jazz.”

Tapi, ...

“Kalau ditanya apakah pernah menggadaikan sertifikat? Sering, bukan pernah lagi.”

Kali ini Tuhan saya kira tengah mengujinya.

Anas konon pernah rugi sekitar Rp4 milyar untuk sebuah pagelaran di Jogja karena miscalculation. Terpaksalah ia jual aset. Rumah dan mobilnya melayang.

Prambanan Jazz bukan record tiket sold out satu-satunya. Saat menggelar konser David Foster, 4000 tiket ludes. Yang fenomenal Dream Theater. Tiket ludes hanya dalam tempo 5 jam. Ia lalu memutuskan memperpanjang pertunjukan jadi dua hari. Tetap ramai.  (Bersambung)

No comments:

Post a Comment