Mengenang Gempa Jogja 2006

Seorang korban gempa dibawa 
ke tenda perawatan darurat.
"Kukuh-bakuh, kukuh-bakuh..."
 

Kalimat itu diteriakkan berulang-ulang oleh terutama para orang lanjut usia saat terjadi gempa di Yogyakarta, 2006 silam. Begitulah, seorang teman yang tinggal di daerah bencana menuturkan situasi saat terjadi gempa yang meluluh lantakkan Bantul dan sekitarnya.
 

Kukuh-bakuh sendiri kurang lebih berarti kuat-kuatlah. Kata-kata itu kerap diteriakkan saat terjadi gempa, yang menjadi semacam mantra dengan harapan gempa segera reda. Selain itu juga untuk menenangkan diri agar tetap waspada, dan berharap bangunan-bangunan yang ada tetap berdiri kokoh.
 

Andika, warga yang tinggal di Cokrokusuman, mengisahkan dahsyatnya gempa itu sampai-sampai jalan kampung di depan rumahnya bergerak seperti ayunan gelombang air.
 
Gempa yang terjadi pada pagi hari pukul 05:54, pada 27 Mei ini berkekuatan 5,9 skala Richter, berlangsung selama 57 detik. Jumlah korban jiwa kurang lebih mencapai 5.700 orang dan yang terluka setidaknya mencapai 37 ribu orang.
 

Beberapa mobil mewah ringsek, 
di sebuah lembaga pendidikan di Bantul.
Meski terbilang pendek namun gempa  itu terasa lama juga. Kepanikan melanda banyak warga. Mereka yang tinggal di daerah dekat pantai berlari menyelamatkan diri menjauhi pantai karena takut bahaya tsunami. Sementara mereka yang tinggal di dekat gunung merapi menjauh dari gunung karena khawatir dampak letusan gunung.

Banyak warga setelah kejadian tidak berani untuk tidur di dalam rumah. Selain kebanyakan rumah mereka retak, mereka juga trauma. Mereka khawatir bakal ada gempa susulan yang lebih besar.
 

Beberapa jam setelah gempa, rumah-rumah sakit segera disesaki para korban. Korban-korban itu terutama karena tertimpa reruntuhan bangunan. Memang acapkali gempanya sendiri tidak mematikan. Justru bangunanlah yang kerap menjadi penyebab korban luka maupun jiwa.
 

Macet dan Panik di AM Sangaji 
Bantuan untuk korban 
gempa diturunkan 
dari truk.
Menyusul gempa menjelang pukul enam pagi itu, orang-orang mulai banyak yang keluar rumah. Selain karena panik, juga ingin mengetahui asal gempa berasal dari mana. Mereka juga memeriksa rumah masing-masing daan rumah milik tetangga kanan kiri. Warga mengamati kerusakan akibat gempa yang terasa tidak seperti biasanya tersebut.
 

Sekitar 1 jam kemudian, ruas jalan AM Sangaji di seputaran kampung Cokrokusuman tampak ramai. Jalanan penuh, kepadatannya melebihi kala perayaan tahun baru. Orang-orang lalu lalang, mereka yang berasal dari arah utara banyak yang menuju selatan begitu juga sebaliknya.
 

Mereka yang bergerak dari arah utara mengira gempa disebabkan aktivitas gunung Merapi. Oleh karena itu mereka menjauhi gunung berapi yang masih aktif itu. Sementara yang dari selatan mengira ada tsunami dari laut pantai selatan.
 

Gempa Jogja mendapat liputan luas 
dari media baik dalam maupun luar negeri.
Listrik padam, begitu pula jaringan telpon seluler. Beruntung air PDAM khususnya untuk wilayah Cokrokusuman masih jalan, hingga kebutuhan pokok akan air bersih masih bisa terpenuhi.
 

Di antara kepadatan warga yang panik, berkali-kali sirine ambulan meraung-raung meminta jalan dari arah utara. Banyak dari ambulan itu yang membawa korban gempa dari arah selatan untuk dibawa ke RS Sardjito, RS Panti Rapih, dan RS Bethesda yang terjauh terletak dalam radius sekitar 1,5 km dari kampung Cokrokusuman.
 

Semoga Yogyakarta tidak lagi mengalami gempa seberat ini.***

No comments:

Post a Comment