Menakar Komitmen Walikota Tingkatkan Ketahanan Iklim (2)

Replikasi

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) menjadi sumber gas metana
yang turut menyumbang terjadinya pemanasan global.
Komitmen bersama semua kota dari CRIC untuk mencapai pembangunan berketahanan iklim sejalan dengan agenda tingkat nasional. Komitmen ini juga menandai peran strategis kota dalam mendukung komitmen global Indonesia dalam pencapaian NDC atau Nationally Determined Contributions berupa pengurangan emisi gas rumah kaca. Bernadia Irawati Candra Dewi menjelaskan itu pada acara dialog. Sekretaris Jenderal UCLG ASPAC ini berharap dari dialog tersebut dihasilkan panduan dan arahan penanganan perubahan iklim di tingkat kota.

“Kenapa kita undang walikota pemenang pilkada serentak tahun lalu, karena walikota akan mengeluarkan RPJMD 6 bulan setelah diangkat. Inilah kenapa komitmen ini ingin kita dengarkan sama-sama. Utamanya untuk kota-kota yang terpilih, yang saat ini tengah merancang dokumen tersebut untuk nanti disepakati dan disahkan sebagai acuan OPD (Organisasi Perangkat Daerah) dalam pelaksanaan kegiatan,” ujarnya.

Menurutnya, walikota atau pemimpin memiliki peran strategis dalam kesuksesan peningkatan capaian skenario aksi lokal kota berketahanan iklim yang inklusif. Komitmen mereka untuk mendukung, mengamanatkan, dan mengintegrasikannya ke dalam dokumen perencanaan pembangunan sebagai dasar prioritas kebijakan pembangunan amat diharapkan. Dia juga mengingatkan setelah disahkan maka seluruh OPD harus melaksanakannya sesuai dengan amanat RPJMD guna menghadapi tantangan akibat perubahan iklim.

“Kita mengapresiasi langkah yang sudah dilakukan oleh para walikota. Sepuluh Pokja sudah terbentuk di tiap-tiap kota. Ini merupakan awal yang sangat signifikan, karena ketahanan iklim tidak bisa diserahkan pada satu dinas saja,” katanya mengingatkan.

Dia pun menjelaskan, proyek yang mendapat bantuan dana dari Uni Eropa ini melakukan pendekatan pilot city, dengan menetapkan 10 kota terpilih berdasar kriteria tertentu. Pada September lalu telah ditetapkan kota terpilih untuk program penanganan ketahanan iklim ini.

“Program diharapkan dapat mendorong pemangku kepentingan, khususnya Pemkot, melakukan replikasi. Karena kita pakai 10 kota percontohan ini untuk upscaling atau replication. Bukan hanya di Indonesia saja tetapi dengan network UCLG bisa di-upscale di luar Indonesia juga,” terang Bernadia.

Sementara itu, Direktur Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sri Tantri Arundharti menjelaskan bahwa Indonesia berkomitmen untuk mengatasi perubahan iklim, di antaranya melalui payung hukum UU nomor 16 tahun 2016.

Indonesia juga sudah memprioritaskan isu perubahan iklim ke dalam agenda pembangunan nasional dan menurunkan aksi-aksi strategis untuk memastikan program pembangunan yang berkontribusi pada penurunan gas emisi rumah kaca, serta meningkatkan kapasitas adaptasi perubahan iklim.

“Perubahan iklim memberi dampak yang nyata pada kita semua, karena menyangkut semua sektor. Baik pertanian, kesehatan, infrastruktur. Di tepi pantai mengalami masalah banjir, peningkatan permukaan air laut,” terangnya.

Terkait komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, dikatakannya, KLHK telah menyusun peta jalan emisi atau road map NDC, yang memberikan arahan dan panduan bagi Pemerintah Daerah untuk memastikan pembangunan rendah karbon, dan aksi sektoral yang dapat digulirkan untuk mendukung pembangunan nasional.

Upaya pengendalian perubahan iklim tidak dapat meninggalkan masyarakat selaku pihak yang paling terdampak. Sementara peran walikota sangat penting dalam meningkatkan kapasitas dan ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim.

“Indonesia menggiatkan program kampung iklim, untuk mendorong keterlibatan masyarakat dalam aksi, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Indonesia berkomitmen membangun 20 ribu program kampung iklim pada tahun 2024.”

Menurutnya sejauh ini program kampung iklim telah melahirkan aksi-aksi sederhana skala masyarakat untuk meningkatkan kapasitas adatasi dan mitigasi dalam menghadapi dampak perubahan iklim.

“Proyek Climate Reselience and Inclusive City, yang menggandeng 10 kota percontohan, dapat berkontribusi pada agenda ketahanan iklim maupun langsung dengan proklim. Sepuluh kota percontohan juga bisa berperan aktif dalam mewujudkan pembangunan rendah karbon melalui aksi perubahan iklim di tingkat kota.”

Selanjutnya aksi dan praktik dari 10 kota percontohan dapat direplikasi di kota-kota lain di Indonesia bahkan di skala regional.

“Kami menantikan aksi kongkret 10 kota percontohan CRIC ke depan untuk bersama-sama dengan pemerintah pusat mewujudkan pembangunan berketahanan iklim yang inklusif.”

Dalam kesempatan yang sama Tantri menjelaskan, dari sisi kebijakan dan regulasi pemerintah sudah melakukan banyak hal. Selain ketahanan iklim sudah masuk ke dalam RPJM, pemerintah juga mengadobsi Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI). Secara regulasi ketahanan iklim sudah masuk dalam UU 32 tahun 2009. Lalu ada Peraturan Menteri nomor 33 tahun 2016 tentang Pedoman Penyusunan Aksi Adaptasi Perubahan Iklim yang menjadi acuan baik kepada pemerintah pusat maupun daerah untuk menyusun aks adaptasi dan mitigasi.

Dalam penelusuran, ada pula Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 7 tahun 2018 tentang Pedoman Kajian Kerentanan, Risiko dan Dampak Perubahan Iklim. Pemerintah juga menerbitkan Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan (SIDIK) yang menyajikan data dan informasi kerentanan perubahan iklim dengan satuan unit desa.

“Ini penting mengingat dampak perubahan iklim menurut kajian yang kami lakukan bisa menurunkan cost atau biaya di perkotaan, PDB (Produk Dometik Bruto) masing-masing perkotaan. Bahkan secara nasional sampai 2030 kalau tidak melakukan apa-apa bisa sampai antara 0,66 persen sampai 3,45 persen atau rata-rata 2,87 persen menurunkan pendapatan PDB kita.” (bersambung)

No comments:

Post a Comment